Kalau kita renungkan, orang-orang terdahulu terutama para ulama, wali, dan leluhur Nusantara mereka tidak pernah berniat menambahkan sesuatu yang asing ke dalam agama. Mereka justru berusaha menghadirkan agama dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari, sehingga ajaran ilahi menjadi bagian dari perilaku, kebiasaan, dan kebudayaan.
Misalnya, cara mereka bertani, berdagang, berperang, atau bahkan seni dan silat, semuanya dijalankan dengan kesadaran bahwa ada aturan Tuhan yang harus dijaga dan memahami di atas langit masih ada langit. Tidak ada yang sekadar ritual formal di masjid atau musholla, tetapi agama hadir dalam cara mereka berbicara, bersikap, dan menghormati sesama.
Itulah sebabnya banyak tradisi lokal Nusantara kalau kita lihat, dari wirid, doa, mantera, hingga seni bela diri sangat terlihat menyatu dengan budaya. Bukan karena menambah agama, tapi karena agama dijadikan pedoman hidup dalam setiap gerak dan napas. Dengan cara ini, agama bukan hanya teori atau kata-kata di kitab, tapi menjadi nyata dalam keseharian masyarakat. Amalan ini di rungkai dan di persiapkan utuk pesilat sebagai disiplin diri (mengingatkan kebanyakan ilmu silat pada zaman dulu adalah lebih kepada ilmu keperajuritan untuk menjaga keamanan).
Doa adalah permohonan seorang hamba kepada Tuhan. Melalui doa, seseorang menyampaikan isi hati, meminta pertolongan, keselamatan, rezeki, atau pengampunan. Doa bisa dibaca kapan saja dan dalam bahasa apa saja, baik Arab, Melayu, Jawa, Sunda, maupun bahasa sehari-hari. Contohnya termasuk doa sebelum tidur, doa syukur, atau apapun. Doa boleh khusus dan boleh juga umum. Doa juga sering dijadikan kebiasaan membuka gelangang dan penutup gelangang.
Wirid adalah bacaan dzikir atau doa yang diulang secara rutin. Fungsinya untuk menjaga hati tetap dekat dengan Tuhan sekaligus melatih ketekunan dan fokus. Wirid bisa berupa ayat Al-Qur’an, istighfar, shalawat, atau doa pendek, dan biasanya dibaca berulang-ulang, misalnya wirid istighfar 100 kali atau wirid ayat kursi setiap selesai sholat. Guru-guru juga kadang memberikan amalan wirid yang diperkirakan sesuai untuk murid. Misalan untuk mendawabkan murid yang perwatakan kerasa maka diberikan “Yaa Latif” (Wahai yang maha lembut) sebagai pengamalan seharian.
Awrad/Awrod merupakan jamak dari wird, yaitu kumpulan wirid atau bacaan doa yang dibaca secara rutin dan biasanya diwariskan oleh guru tarekat. Awrad membantu murid melatih disiplin rohani dan menjaga hati tetap terhubung dengan Tuhan. Bacaan awrād terikat dengan aturan tertentu, seperti jumlah pengulangan, waktu, dan cara membaca, sesuai petunjuk guru. Contohnya termasuk awrad tarekat Syadziliyah, Qadiriyah, atau Awrad Imam Nawawi. Ada beberapa jenis silat yang bersangkutan dengan Tarikat namun tidak kita diskusikan di penulisan blog yang terbatas ini.
Hizib dan Ratib adalah susunan doa, ayat Al-Qur’an, atau dzikir tertentu yang dikumpulkan oleh ulama yang selalunya bertarikat. Hizib biasanya dipakai untuk perlindungan, keberanian, keselamatan, atau untuk memenuhi hajat besar. Bacaan hizib lebih “berat” dibanding wirid biasa, dan sering kali memerlukan bimbingan atau ijazah dari guru. Contohnya antara lain Hizib Nashr untuk kemenangan, Hizib Bahr untuk keselamatan di laut, dan Hizib Maghribi untuk perlindungan dari gangguan gaib. Tidak mustahil para para guru mebuat hizib mereka sendiri hasil dari tafakur di atas maslahat ummat (perobatan, hindari dari musuh yang sangat berbahaya). Ratib dan Hizib tidak banyak perbedaan. Walaupun itu, Hizib terkenal Keras sementara Ratib terkenal sebagai jalan penyucian (amaliyah yang di sertakan dengan tazkiyatun Nafs).
Mantera atau mantra adalah ucapan yang dianggap sacral (sacred) yang diyakini memiliki kekuatan tertentu atau spiritual. Mantera berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti “getaran pikiran” atau “ucapan suci”. Kebiasaan ini sudah ada sejak sebelum masuknya Islam di nusantara. Fungsi mantera ada bermacam-macam, seperti untuk pengobatan, perlindungan, penundukan, atau mempengaruhi keadaan. Bahasa yang digunakan biasanya Kawi, Jawa, Sunda, atau campuran lokal, dan tidak selalu bersifat islami. Contohnya adalah mantera tolak bala, mantera pengobatan, dan mantera pasugihan. Di zaman ini, terdapat beberapa kajian yang membahas sebenarnya mantra ciptaan karya dari guru guru di pakai untuk “menaik kan semangat” dan tidak semestinya ada dampingan atau menyeru khodam Jin. Mantra menurut mereka bermaksud ‘Affirmasi’ yakni sesuatu yang di ulang ulang akan menjadi kepercayaan dan tindakan yang pada akhirnya, kemudian memanifestasi ke atas kehidupan kita. Namun begitu, saya sebagai penulis artikel ini ingin juga mengingatkan untuk anda menyaring apa pun mantra yang anda dapat untuk berhati hati.
Ada catatan bahwa Rasulullah saws tidak menolak penggunaan mantra atau ucapan tertentu selama mengandung pujian kepada Allah dan tidak bertentangan dengan tauhid. Sebagai contoh, seorang sahabat yang sebelumnya bekerja sebagai peruqyah atau ahli penyembuhan dengan mantra-mantra tertentu, ketika menerima Islam, beliau tetap bisa menggunakan bacaan atau ucapan yang mengandung kebaikan dan pujian kepada Tuhan sebagai bagian dari praktiknya, selama niatnya sesuai dengan syariat.
Hal ini menunjukkan bahwa Islam fleksibel dalam menerima tradisi lokal, selama tradisi itu diarahkan kepada Allah, mengandung kebaikan, dan tidak menyekutukan-Nya. Rasulullah saws lebih menekankan niat dan tujuan di balik amalan, bukan sekadar bentuk lahiriah bacaan. Dengan kata lain, mantra yang digunakan untuk kebaikan, penyembuhan, atau pujian Allah tetap diperbolehkan, dan bahkan bisa menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Asma' secara am adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti “nama-nama” bentuk jamak dari ismu, yang berarti “nama.”Dalam konteks spiritual atau keagamaan, kata ini sering muncul dalam istilah seperti “Asma’ul Husna”, yang berarti “Nama-nama yang indah (milik Allah)”.Masing-masing nama mencerminkan sifat-sifat ilahi seperti Ar-Rahman (Maha Pengasih), Al-Hakim (Maha Bijaksana), dan seterusnya.Namun, di luar konteks keagamaan apalagi di Indonesia, “Asma’” juga berarti identitas, esensi, atau vibrasi dari suatu nama. Dalam tradisi mistik, termasuk dalam sufisme atau ilmu hikmah, setiap asma’ diyakini memiliki energi dan frekuensi tertentu yang bisa mempengaruhi kesadaran, jiwa, dan bahkan realitas di sekitarnya bila dilafalkan dengan niat dan adab yang benar. Contoh populer adalah Asma Sunge Rajeh dan Asma Suryani di dunia keilmuan
Akhir kata
Intinya, semua amalan seperti doa, wirid, hizib, awrad, dan mantera bukan sekadar ritual atau bacaan kosong, tetapi dijadikan latihan batin untuk membentuk kebiasaan spiritual yang konsisten. Melalui latihan ini, hati dan pikiran dilatih agar selalu terhubung dengan Tuhan, kesabaran dan disiplin dibangun, serta kekuatan batin perlahan tumbuh. Sama seperti latihan jasmani yang memperkuat tubuh, latihan batin memperkuat jiwa dan energi spiritual. Jika dilakukan terus-menerus, kebiasaan baik ini akan menjadi bagian alami dari diri seseorang, sehingga setiap tindakan sehari-hari dari berbicara hingga bergerak dilakukan dengan kesadaran dan keselarasan spiritual.
Fadhilat amalan-amalan tersebut bukan tujuan akhir, melainkan jalan untuk membentuk karakter, ketenangan, dan keteguhan hati. Ramai pesilat pada awalnya belajar silat karena ingin terlihat hebat, kuat, atau mampu mengalahkan lawan. Namun sebenarnya, latihan silat bukan hanya soal kekuatan fisik, tetapi juga membentuk disiplin dan karakter. Tubuh dilatih mengikuti gerakan, hati dilatih bersabar, pikiran dilatih fokus, dan jiwa dilatih bijaksana.
Kekuatan fisik hanyalah hasil sampingan. Tujuan utama adalah latihan batin dan membangun disiplin dalam hidup. Amalan doa, wirid, awrad, bahkan mantera yang menyertai latihan menjadi sarana untuk menanam kebiasaan baik, melatih kendali diri, dan menyadarkan bahwa setiap gerakan memiliki makna. Seiring waktu, pesilat yang awalnya hanya mengejar kekuatan akan belajar menghargai kesabaran, konsistensi, dan keharmonisan batin, yang jauh lebih penting daripada fisik yang tangguh.
ref :
1.5 Nilai-Nilai Islam dalam Kearifan Lokal dari Berbagai Suku di Indonesia
2. Al-Fasi, Syarhu Hizbil Barr, halaman 63
3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab "Majmu’atul Fatawa"
*Disclaimer : pendapat yang tertulis di atas adalah hanya dari pengetahuan dan pengalaman pribadi sahaja yang menurut saya harus di jabarkan "as it is" dan dalam rangka "for knowledge only" kepada peminat silat tradisi. Benar dan salah, saya kembalikan kepada Allah swt. Tapi Insyallah apa yang saya tuliskan dan sampaikan adalah pecobaan saya untuk menulis hal benar seingat apa yang disampaikan ke saya oleh para guru. Segala opini dilandaskan sebagai Guru silat yang telah melibatkan diri dengan perobatan Islam dan Perobatan Tradisional Melayu. Harus ditegaskan lagi, sesungguhnya anda sebagai pembaca harus mencerna informasi seputar keilmuan-keilmuan klasik dengan penuh hati-hati dan dibawah bimbingan orang yang sesuai bidang pengetahuannya.
No comments:
Post a Comment