Thursday, October 2, 2025

Khataman Wira.. sebuah cerita.

Satu Cerita Sebelum Pengijazahan

Sebelum pengijazahan, ada satu proses yang dijalani oleh siswa silat di tempat saya berlatih. Proses ini dipanggil rukat. Menariknya, “rukat” di sini punya beberapa makna—ada yang mengaitkannya dengan rakaat, ada juga dengan dirawat. Dalam konteks umum, “di rukat” boleh diartikan sebagai proses di mana seorang murid dibacakan doa atau mantra oleh orang pintar, supaya sembuh atau bersih dari gangguan halus. Tetapi dalam latihan ini, rukat bermaksud seleksi—untuk melihat keberadaan murid secara lahir dan batin. Mirip dengan istilah “kecer” di tanah Jawa Barat, tapi ini adalah versi kami. Walaupun dari luar mungkin tampak mistik atau superstisi, sebenarnya ada makna mendalam jika ditinjau dengan mata ilmu.

Caranya begini: setiap murid diarahkan membeli telur bebek/itik, tapi tidak boleh sembarangan. Tidak boleh ramai-ramai, tidak boleh dicatat route-nya, harus dihafal. Misalnya, “sampai perempatan belok kanan, terus jalan depan ada pasar masuk kiri…”—semua harus diingat, tanpa catatan. Saat membeli, tidak boleh tawar-menawar. Hanya gunakan rasa hati, lalu sebutkan kepada penjual bahwa kita murid Mas Amin. Setelah sampai di padepokan, nama ditulis di cangkang, telur direbus tanpa tengok jam, hanya dengan perasaan. Intinya: be mindful and present.

Saya pun ikut. Dalam hati sempat membatin, apa susahnya? Tapi saya lupa, ini bukan Singapura, ini Ampel—tempat besar, sibuk, ramai orang. Bukan walk in the park. Saya sampai nyaris tersesat. Cari pelan-pelan, sambil membaca Ihdinash shirootal mustaqim berulang kali, akhirnya sampai juga. Setelah telur di tangan, gaya ilmuwan saya keluar—saya Google cara merebus telur supaya tidak terlalu matang atau mentah. Semua timed perfectly, “swee swee, very chun” kata orang kita. Tapi waktu presentasi ke guru, alangkah terkejutnya—SALAH TELUR! Nama orang lain tertulis di kulitnya. Guru pun kecewa, wajahnya seolah warrant officer NS yang tengah binget nak tekan kita habis-habisan. Teman sebelah yang telurnya tertukar pun ikut kena getahnya—salah saya juga. Akhirnya saya kena ulang seluruh proses, tertinggal hampir satu jam dari yang lain.

Kali kedua saya jalani dengan pasrah. Tanpa timer, tanpa hitungan. Hanya diri sendiri dan rasa waktu. Jangan terlalu banyak berpikir, jangan terlalu melekat pada hasil. Setelah selesai Asar, kami semua berkumpul menunggu analisa. Gus Amien membacakan doa, lalu satu per satu dipanggil. Katanya, sikap tersirat murid akan terbaca dari bentuk rebusan telur. Ada yang ketika dibelah mengeluarkan bau tak enak—tanda kurang baik. Ada pula yang kuningnya padat berkilau bak intan. Telur saya? Biasa-biasa saja. Kata beliau: “Mas Hadi, lulus. Tapi ingat, jangan gegabah. Kamu sering ngebut kerana apa sih?!” (why are you always in a rush?) Ini ibarat sebuah tamparan lembut—ternyata ini adalah ujian kesabaran, ketelitian, daya ingat, mindfulness, dan ketahanan diri. Bukan sekadar merebus telur.

Dan akhirnya, telur-telur yang tersisa—yang masih elok—dijadikan lauk kenduri bersama. Dari sebuah latihan sederhana, saya belajar: kadang proses yang terlihat remeh menyimpan makna besar tentang siapa diri kita dan bagaimana kita menjalani hidup.







No comments:

Post a Comment