Di tanah pesisir Madura, tepatnya di Demangan, Bangkalan, lahirlah seorang bayi yang kelak akan menjadi cahaya bagi dunia pesantren Nusantara. Bayi itu diberi nama Muhammad Kholil, putra dari seorang keluarga sederhana tapi taat beragama. Sejak kecil, tanda-tanda kecerdasan dan keberkahan sudah terlihat darinya. Al-Qur’an ia lahap dengan cepat, dan kitab-kitab agama ia tekuni dengan semangat yang tak pernah padam.
Seperti lazimnya santri Madura, Kholil muda mengembara dari satu pesantren ke pesantren lain, menimba ilmu dari banyak guru. Perjalanannya membawanya hingga ke tanah suci Mekkah, tempat ia menekuni ilmu fiqih, tauhid, dan tasawuf dengan penuh ketekunan. Setelah bertahun-tahun menimba ilmu di sana, ia pulang ke Madura dan mendirikan pesantren di Bangkalan. Dari sinilah namanya dikenal sebagai Kyai Kholil Bangkalan.
Guru Para Ulama
Pesantren Kiai Kholil bukanlah pesantren besar
dengan gedung megah, tetapi aura keilmuannya menarik santri dari berbagai
penjuru. Dari gubuk sederhana itu lahirlah tokoh-tokoh besar seperti KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul
Ulama, dan KH. Wahab Hasbullah,
pejuang pergerakan bangsa. Banyak ulama besar lainnya lahir dari bimbingannya.
Karena itulah, orang-orang menyebut beliau sebagai “Guru para ulama Nusantara.” Tidak berlebihan, sebab melalui murid-muridnya, ajaran Kiai Kholil mengalir ke jutaan umat Islam di Indonesia hingga hari ini.
Karomah yang Melegenda
Selain dikenal dengan ilmunya yang luas, Kiai
Kholil juga diyakini memiliki karomah.
Kisah-kisah tentangnya dituturkan dari mulut ke mulut, membentuk legenda yang
semakin meneguhkan kewaliannya.
Dikisahkan, suatu malam pesantrennya gelap
gulita karena pelita padam. Para santri kebingungan. Tiba-tiba tongkat Kiai
Kholil yang beliau tancapkan ke tanah memancarkan cahaya, menerangi seisi
ruangan.
Ada pula kisah saat beliau memberikan sebuah tasbih kepada KH. Hasyim Asy’ari. Tasbih itu bukan sembarang pemberian, melainkan isyarat gaib bahwa kelak sang murid harus mendirikan organisasi besar yang menjadi benteng umat. Dari isyarat itu, lahirlah Nahdlatul Ulama.
Wafat dan Warisan
Kiai Kholil wafat pada tahun 1925 di Bangkalan. Kepergiannya tidak
memadamkan cahaya, justru menyalakan obor keilmuan yang lebih besar melalui
murid-muridnya. Makam beliau di Bangkalan kini menjadi salah satu pusat ziarah
penting di Nusantara, tempat orang datang membawa doa, harapan, dan penghormatan.
Warisan beliau bukan hanya berupa pesantren, tapi juga tradisi keilmuan pesantren yang berpadu dengan jiwa Madura—keras sekaligus lembut, tegas sekaligus penuh kasih.
Penutup
Kisah Kyai Kholil Bangkalan mengajarkan kita
bahwa kebesaran tidak selalu lahir dari istana, melainkan bisa muncul dari
gubuk sederhana di kampung pesisir. Dari tanah Madura yang keras, lahirlah
seorang ulama yang lembut hatinya, luas ilmunya, dan tinggi wibawanya.
Sebagaimana pepatah Madura berkata:
“Orèng pote mata, èntar bisa èlang, tapeh
orèng pote tolang, tak bisa èbali.”
(Orang yang kehilangan harta bisa dicari kembali, tapi kalau kehilangan
martabat, tak akan bisa kembali.)
Martabat itulah yang dijaga Kiai Kholil seumur hidupnya, dan kini menjadi teladan bagi generasi setelahnya.
No comments:
Post a Comment