"Menjadi pesilat dan menjadi santri" adalah dua elemen penting dalam kebudayaan Islam Nusantara yang saling terkait secara historis dan spiritual.
Silat, sebagai seni bela diri tradisional, bukan sekadar teknik bertarung. Ia adalah wadah pendidikan karakter, pengendalian diri, dan pembentukan jati diri. Dalam banyak pesantren (tempat pendidikan para santri), silat diajarkan bukan hanya untuk mempertahankan diri, tapi juga sebagai latihan rohani.. mencapai keselarasan antara jasmani dan ruhani.
Santri, di sisi lain, adalah pelajar ilmu agama yang biasanya hidup dalam komunitas pesantren. Mereka tidak hanya belajar fikih dan tauhid, tetapi juga adab, akhlak, dan keteguhan hati yakni nilai-nilai yang juga dijunjung tinggi dalam silat.
Hubungan antara silat dan santri terlihat jelas dalam sejarah perjuangan bangsa.
Pada gilirannya, banyak pendekar silat yang juga ulama, dan banyak pesantren yang menjadi basis penyebaran silat.
Sekarang ini, Silat pun masih sering dianggap sebagai jalan jihad dalaman bukan sekadar melawan musuh lahiriah, tapi juga hawa nafsu dan kelemahan batin.
Perjalanan spiritual untuk mengimbangi ilmu silat bukanlah hal baru, tetapi merupakan inti dari silat sejati dalam tradisi Nusantara. Seorang pendekar sejati tidak hanya diasah fisiknya, tetapi juga dibentuk jiwanya. Tanpa landasan spiritual, silat bisa berubah menjadi alat kesombongan atau bahkan kezaliman. Tapi dengan ruhnya yang terpandu, paling minimal silat menjadi jalan menuju ke dalam dirinya kalaupun ia tidak sampai ke arah menuju makrifat. Ia TIDAK bertujuan untuk menambahkan HAL BARU DIDALAM AGAMA TETAPI MENEMPATKAN AGAMA di dalam segala sesuatu yang kita berbuat sebagai pengendalian diri.
Catatan Pereng Sabreng
Alm. Guru Gus Amien bersama santri santrinya di Ponpes miftachus sunnah (Surabaya)
taken from my own post @Dunia Pencak Silat fb group